Minggu, 29 April 2012

FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN; PATRISTIK DAN SKOLASTIK



ABSTRAK
History of philosophical thought in the Middle Ages lasted for ten centuries, ie since the 6th century BC to 16th century BC. Middle Ages also known as the dark ages or medieval. Said to be in the dark ages because of this philosophy and knowledge confined under the authority of the church. This century also known as medieval (medieval), which mediate Greek philosophy and culture until the Renaissance. Evolving philosophy known as the Patristic and Scholastic philosophy
             In general in the dark ages of this pattern of thought characterized by the decline of Greek civilization and the beginnings of Christian doctrine. With the growing recognition of Christianity, philosophy declined. At this period of dominance and control of all aspects of religious authority the development of civilization, which developed The style is intended as a philosophical justification of theology.
             The Greek evolving patterns of thought that Platonism and stoisisme. Both paint an understanding of religious teachings. Teachings of the great philosophers Plato and Aristotle also used to explain the philosophical thoughts on the problem of God, religion, belief, and human nature and scientific issues such as language, logic, ethics. The struggle between religious teachings and ideas, which lasted for ten centuries of styles and backgrounds into the next period, namely the Enlightenment (aufklarung, renaissance).

Keyword : Patristic and Scholastic philosophy

A.       Pendahuluan
Sejarah filsafat Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476, yakni masa berakhirnya Kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya Kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul), sebagai data awal zaman Abad Pertengahan dan tahun 1492 (penemuan benua Amerika oleh Columbus) sebagai data akhirnya[1].
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada Abad Pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat Abad Pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris[2].
  Adapun istilah Abad Pertengahan sendiri (yang baru muncul pada abad ke-17) sesungguhnya hanya berfungsi membantu kita untuk memahami zaman ini sebagai zaman peralihan (masa transisi) atau zaman tengah antara dua zaman penting sesudah dan sebelumnya, yakni Zaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Zaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans pada abad ke-17.
Dengan demikian, bentangan waktu seribu tahun sejarah filsafat Barat Kuno (Yunani dan Romawi) yang sudah kita bahas dilanjutkan dengan masa seribu tahun sejarah filsafat Abad Pertengahan yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan[3]. Disinalah yang menjadi persoalannya, karena agama kristen itu mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan yunani kuno mengatakan bahwa kebanaran dapat di capai oleh kemampuan akal[4].


B.     Ciri Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat[5]. Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat Kristiani. Para pemikir zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan dalam Gereja Katolik (misalnya uskup, imam, pimpinan biara, rahib), minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani.
Akan tetapi, orang akan sungguh-sungguh salah paham jika memandang filsafat Abad Pertengahan semata-mata sebagai filsafat yang selalu berisi dogma atau anjuran resmi Gereja. Sebab, sebagaimana nanti akan kita lihat, tema yang selalu muncul dalam sejarah filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu Allah sebagaimana termaktub dalam kitab suci dan pengetahuan yang berdasarkan kemampuan rasio manusia. Dan, dalam hal ini, tidak semua pemikir abad pertengahan mempunyai jawaban yang sama.
Adanya beragai macam aliran pemikiran yang mengkaji tema tersebut menunjukkan bahwa para pemikir pada zaman itu ternyata bisa berargumentasi secara bebas dan mandiri sesuai dengan keyakinannya. Kendati tidak jarang mereka, harus berurusan dan bentrok dengan para pejabat gereja sebagai otoritas yang kokoh dan terkadang angkuh pada masa itu. Oleh karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat abad pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang menyolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang diajarkan oleh nabi isa pada permualaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan.
Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pendangan yunani kuno yang mengatakan bahwa kebanaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua[6]:
1.      Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir karena tidak mengakui wahyu.
2.      Menerima filsafat yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu oleh wahyu.

1.      Periode-periode pada abad pertengahan
Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menjadi dua zaman atau periode, yakni periode pratistik dan periode skolastik[7].
a.      Patristik (100-700)
Patristik berasal dari kata Latin Patres yang berarti bapa-bapa greja, ialah ahli agama kristen pada abad permulaan agama kristen[8]. Didunia barat agama katolik mulai tersebar dengan ajaranya tentang tuhan, manusia dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggunakan filsafat yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya menganai soal-soal  tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tuhan. Yang terkenal Tertulianus (160-222), origenes (185-254), Agustinus (354-430),  yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).
  1. Justinus Martir

                Nama aslinya ialah justinus, kemudian nama martir di ambil dari istilah orang-orang yang rela mati hanya untuk kepercayaanya. Ia berpendapat bahwa filsafat yang digabung dengan ide-ide keagamaan akan menguntungkan asensi dari pengetahuan ialah pemahaman tentang Tuhan, semakin banyak kita memikirkan kesempurnaan Tuhan akan semakin bertambah kemampuan inteleknya.

2.       Tertullianus (160 - 222 )
Di antara para pembela iman Kristen adalah Tertullianus ia dilahirkan bukan dari keluarga Kristen, tetapi setelah melaksanakan pertobatan ia menjadi gigih membela Kristen secara fanatik. Ia menulak kehadiran filsafat Yunani, karna filsafat dianggap sesuatu yang tidak perlu. Baginya berpendapat, bahwa whyu tuhan sudahlah cukup, dan tidak ada hubungan antara teologi dengan filsafat, tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat fisafat), tidak ada hubungan antara gereja dengan akedemi, tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru.
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa dibanding dengan cahaya Kristen, maka segala yang dikatakan oleh para filosof Yunani dianggap tidak penting. Karna apa yang dikatakan oleh para filosof Yunani tentang kebenaran pada hakikatnya sebagai kutipan dari kitab suci. Akan tetapi karena kebodohan para filosof, kebenaran kitab suci tersebut dipalsukan.
Akan tetapi lama kelamaan, Tertullianus akhirnya menerima juga filsafat yunani sebagai cara berpikir yang rasional. Alasannya, bagaimanapun juga berpikir yang rasional diperlukan sekali. Pada saat itu, karena pemikiran filsafat yang diharapkan tidak dibakukan. Saat itu filsafat hanya mengajarkan pemikiran-pemikiran ahli pikir Yunani saja.
Sehingga, akhirnya Tertullianus melihat filsafat hanya dimensi praktisnya saja, dan ia menerima filsafat sebagai cara atau metode berpikir untuk memikirkan kebenaran keberadaan Tuhan beserta sifat-sifatnya.

3.       Augustinus (354-430)
Sejak mudanya ia telah mempelajari bermacam-macam aliran filsafat, antara lain platonisme dan skeptisisme. Ia telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat abad pertengahan, sengga ia dijuluki sebagai guru skolastik yang sejati. Ia seorang tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Setelah ia mempelajari aliran Skeptisisme, ia kemudian tidak menyetujui atau menyukainya, karena di dalamnya terdapat pertentangan batiniah. Orang dapat meragukan segalanya, akan tetapi orang tidak dapat meragukan bahwa ia ragu-ragu. Seseorang yang ragu-ragu sebenarnya ia berpikir dan seseorang yang berpikir sesungguhnya ia berada (eksis).
Menurut Augustinus, daya pemikiran manusia ada batasanya, tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal abadi. Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi.
Dan menurutnya lagi, Allah menciptakan dunia ex nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinas). Artinya dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan. Jadi, berbeda dengan konsep pencitaan yang diajarkan Plato bahwa me on merupakan dasar atau materi segala sesuatu. Dunia diciptakan sesuai dengan ide-ide Allah. Manusia dan dunia berpatisipasi dengan ide-ide ilahi. Pada manusia partisipasi itu lebih aktif dibanding dunia materi.
Akhirnya, ajaran Augustinus berhasil menguasai sepuluh abad, dan mempengaruhi pemikiran Eropa. Perlu diperhatikan bahwa para pemikir patristik itu sebagai pelopor pemikiran skolastik. Mengapa ajaran Augustinus sebagai akal dari skolastik dapat mendominasi hamper sepuluh abad, karena ajarannya lebih bersifat sebagai metode daripada suatu siste, sehingga ajarannya mampu meresap sampai masa skolastik.
Filsafat patristik mengalami kemunduran sejak abad V hungga abad VIII. Di Barat dan Timur muncul tokoh-tokoh dan pemikir- pemikir baru dengan corak pemikiran yang mulai berbeda dengan masa patristik.

b.   Skolastik 800-1500
Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.
Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.
Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contra-nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan kemasukakalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.
Sesudah agustinus: keruntuhan. Satu-satunya pemikir yang tampil kemuka ialah: Skotus Erigena (810-877). Kemudian: Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu. Persoalan-persoalan: tentang  pengertian-pengertian umum (pengaruh plato). Filsafat mengabdi pada theologi. Yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaelardus (1079-1142)[9]. Periode ini terbagi menjadi tiga tahap[10]:
1.      Periode Skolstik awal (800-120)
Ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat[11]. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.
Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya, logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan pro-contra mulai berkembang (Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah  universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.
Pengaruh alam pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun 800-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filsuf dan ilmuwan zaman Yunani Kuno. Kaum intelektual dan kalangan kerajaan Islam menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Maka, pada para pengikut Islam mendatangi Eropa (melalui Spanyol dan pulau Sisilia) terjemahan karya-karya filsuf Yunani itu, terutama karya-karya Aristoteles sampai ke dunia Barat. Dan salah seorang pemikir Islam adalah Muhammad Ibn Rushd (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushd, seorang filsuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara aliran neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
Dengan demikian, pada gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani Abad Pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh daripada sebelumnya. Hal ini semakin  didukung dengan adanya biara-biara yang antara lain memeng berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.
2.      Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)
Periode puncak perkembangan skolastik : dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi[12]. Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad Pertengahan. Aristoteles diakui sebagai Sang Filsuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan Yahudi. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinya. Pada abad ke-13, dihasilkan suatu sintesis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintesis besar ini dinamakan summa (keseluruhan).
a.       Thomas Aquinas (1225-1274 M.)
                Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274 M.). Lahir di Roccasecca, Italia 1225 M dari kedua orang tua bangsawan[13]. Ia mendapat gelar “The Angelic Doctor”, karena banyak pikirannya, terutama dalam “SummaTheologia” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal ataufilsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dalil agama dan mengabdi kepadaTuhan. Aquinas merupakan theolog skolastik yang terbesar. Ia adalah murid Albertus Magnus. Albertus mengajarkan kepadanya filsafat Aristoteles sehingga ia sangat mahir dalam filsafat itu. Pandangan-pandangan filsafat Aristoteles diselaraskannya dengan pandangan-pandangan Alkitab. Ialah yang sangat berhasil menyelaraskan keduanya sehingga filsafat Aristoteles tidak menjadi unsur yang berbahaya bagi iman Kristen. Pada tahun1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.
Thomas mengajarkan Allah sebagai “ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah adalah “dzat yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). “Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat,” demikian kata Thomas Aquinas[14]
Thomas memberi 5 (lima) bukti adanya Tuhan[15]:
1.        Adanya gerak didunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama yaitu Allah. Menurut Thomas apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak pertama ini adalah Allah.
2.       Di dalam dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya guna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, maka harus ada sebab berdaya guna yang pertama, inilah Allah.
3.       Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin ada dan tidak ada. Oleh karena semuanya itu tidak berada sendiri tetapi diadakan, dan oleh karena semuanya itu dapat rusak, maka ada kemungkinan semua itu ada, atau semuanya itu tidak ada. Jikalau segala sesuatu hanya mewujudkan kemunginan saja, tentu harus ada sesuatu yang adanya mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, adanya itu disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mugkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain, inilah Allah.
4.      Diantara segala yang ada terdapat ha-hal yag lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar dan lain sebagainya. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi jikalau ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Dari semuanya dapat disimpulkan bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab daris segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
5.       Kita menyaksikan, bahwa segala sesuatu yang tidak berakal seperti umpamanya tubuh alamiah, berbuat menuju pada akhirnya. Dari situ tampak jelas, bahwa tidak hanya kebetulan saja semuanya itu mencapai akhirnya, tapi memang dibuat begitu. Maka apa yang tidak berakal tidak mungkin bergerak menuju akhirnya, jikalau tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal, berpengetahuan. Inilah Allah.
Kelima bukti itu memang dapat menunjukkan, bahwa ada suatu tokoh yang menyebabkan adanya segala sesuatu, suatu Tokoh yang berada karena diriNya sendiri. Akan tetapi semuanya itu tidak dapat membuktikan kepada kita akan hekekat Allah yang sebenarnya. Dengan semuanya itu, kita hanya tahu bahwa Allah ada. Sekalipun demikian dapat juga dikatakan,bahwa orang memang memiliki beberapa pengetahuan filsafati tentang Allah

3.      Periode Skolastik lanjut atau akhir (abad ke-14-15)
Periode skolastik Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio member jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.
Salah seorang yang berfikir kritis pada periode ini adalah Wiliam dari Ockham (1285-1349). Anggota ordo Fransiskan ini mempertajam dan menghangatkan kembali persoalan mengenai nominalisme yang dulu pernah didiskusikan. Selanjutnya, pada akhir periode ini, muncul seorang pemikir dari daerah yang sekarang masuk wilayah Jerman, Nicolaus Cusanus (1401-1464). Ia menampilkan “pengetahuan mengenai ketidaktahuan” ala Sokrates dalam pemikiran kritisnya:”Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat ku ketahui bukanlah Tuhan”. Pemikir yang memiliki minat besar pada kebudayaan Yunani-Romawi Kuno ini adalah orang yang mengatur kita memasuki zaman baru, yakni zaman Modern, yakni zaman Modern yang diawali oleh zaman Renaissans, zaman “kelahiran kembali” kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa mulai abad ke-16.
Baru sesudah tahun 1200 filsafat berkembang kembali berkat pengaruh filsafat arab yang diteruskan ke Eropa.

c.   Fisafat arab
Berkat pengaruh Helenisme (iskandar), filsafat yunani hidup terus di Siria, diperkembangkan lebih lanjut oleh filusuf-filusuf Arab, kemudian diteruskan  ke Eropa melalui sepanyol[16].
a)  Alkindi (800-870) satu-satunya orang arab asli. Corak filsafatnya ialah pemikiran kembali dari ciptaan Yunani (menterjemahkan 260 buku Yunani) dalam bentuk bebas dengan refleksinya dengan iman islam
b)  Alfarabi (872-950), filusuf muslim dalam pangkal filsafatnya dari Plotinus.
c)  Al-Ghazali (1059-1111) filusuf besar islam yang mengarang Ihya Ulumuddin, di  Spanyol
d)  Ibnu sina (avicena)(980-1037) yang besar pengaruhnya terhadap filsafat barat, sejak usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an.
e)  Ibnu Bajjah (1138), penafsiran karya fisik dan metafisik Aristoteles.
f)   Ibnu Rushd (Averros) (1126-1198) yang disebut jiga penafsir Arostoteles dan yang sangat berpengaruh terhadap aliran-aliran di Eropa, jiga seorang filusuf besar Muslim.
g)   Avencebrol (ibnu Gebol) (1020-1070)
h)   Main monides (moses bin maimon) (1135-1204)

d.   Zaman Keemasan
Perkembangan baru karena adanya universitas-universitas (paris), karangan karangan Aristoteles mulai  dikenal umum melalui filusuf-filusuf arab dan Yunani[17].
1.        Pengikut-pengikut Agustinus : sigerbonafenturant
2.       Pengikut-pengikut ibn Rushd: Siger dari Barabant (1235-1281).
3.       Pengikut-pengikut Aristoteles : Albertus Magnus (1206-1280), dan muridnya; Thomas Aquinas (1225-1274), yang berhasil menemukan sintesis antara Aristoteles-Plato-Agustinus dan skolastik.
Perbedaan agama dan filsafat  dan sintesisnya, pemecahan soal-soal besar tentang pengetahuan, tentang “ada” dan dasarnya tentang etika. Pengaruhnya sampai sekarang masih sangat kuat.
Disamping aliran-aliran ini terdapat juga ;
1)   Aliran Neo-platonis: Roger Bacon (1210-1292).
2)   Aliran empirisme (pengaruh Aristoteles), yang membela kaidah ilmu pasti dalam ilmu pengetahuan dan penyelidikan berdasarkan eksperimen-eksperimen.
3)   Duns-Scotus (1270-1308) pembahasan yang tajam, perimtis jalan bagi filsafat abad ke XIV, positivitas (hanya apa yang kongkrit yang dapat dilihat dan yang dapat diraba dan dapat dimengerti) dan voluntaristis (lebih mementingkan kehendak dari pada pikiran)
4)   W. Ockham (1550) yang meneruskan ajaran Scotus: tentang pengetahuan: konseptualitas (lihat logika: pengertian-pengertian umum tidak “benar” sesuai dengan kenyataan).

C.    Kesimpulan
Zaman pertengahan ialah zaman dimana Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat Kristiani. Para pemikir zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan dalam Gereja Katolik (misalnya uskup, imam, pimpinan biara, rahib), minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani.
Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menjadi dua zaman atau periode, yakni periode pratistik dan periode skolastik .



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sadali dan Mudzakir, (1999) Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Mustansyir, Rizal. (2009). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset
Salam, Burhanuddin. (1995). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. (2005). Ilmu filsafat suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Muzairi. (2009). Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras
Petrus, Simon. (2004). Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius
Tafsir, Ahmad. (2010). Filsafat Umum.  Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suriasumantri, jujun S. (2009). Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan







[1] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 102
[2] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. Kesembilan. hlm. 67
[3] Ibid. hlm. 66
[4] Surajiyo, Ilmu Filsafat Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. Pertama. hal. 157
[5] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 102
[6] Op.cit. hlm. 156
[7] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 103
[8] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005),  hal. 157

[9] Burhanuddin salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) cet. Ketiga. hlm. 191
[10] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm.  157
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ahmad Sadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 80-81
[14] Ibid. hlm. 95
[15] Ibid
[16] Burhanuddin salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) cet. Ketiga hal. 191
[17] Ibid. hlm. 192