ABSTRAK
History
of philosophical thought in the Middle Ages lasted for ten centuries, ie
since the 6th century BC to 16th century BC. Middle Ages
also known as the dark ages or medieval. Said to be
in the dark ages because
of this philosophy and knowledge confined
under the authority of the church.
This century also
known as medieval (medieval),
which mediate Greek
philosophy and culture
until the Renaissance.
Evolving philosophy known as the Patristic and
Scholastic philosophy
In general in the dark ages of this pattern of thought characterized by the decline of Greek civilization and the beginnings of Christian doctrine. With the growing recognition of Christianity, philosophy declined. At this period of dominance and control of all aspects of religious authority the development of civilization, which developed The style is intended as a philosophical justification of theology.
The Greek evolving patterns of thought that Platonism and stoisisme. Both paint an understanding of religious teachings. Teachings of the great philosophers Plato and Aristotle also used to explain the philosophical thoughts on the problem of God, religion, belief, and human nature and scientific issues such as language, logic, ethics. The struggle between religious teachings and ideas, which lasted for ten centuries of styles and backgrounds into the next period, namely the Enlightenment (aufklarung, renaissance).
In general in the dark ages of this pattern of thought characterized by the decline of Greek civilization and the beginnings of Christian doctrine. With the growing recognition of Christianity, philosophy declined. At this period of dominance and control of all aspects of religious authority the development of civilization, which developed The style is intended as a philosophical justification of theology.
The Greek evolving patterns of thought that Platonism and stoisisme. Both paint an understanding of religious teachings. Teachings of the great philosophers Plato and Aristotle also used to explain the philosophical thoughts on the problem of God, religion, belief, and human nature and scientific issues such as language, logic, ethics. The struggle between religious teachings and ideas, which lasted for ten centuries of styles and backgrounds into the next period, namely the Enlightenment (aufklarung, renaissance).
Keyword : Patristic
and Scholastic philosophy
A.
Pendahuluan
Sejarah filsafat Abad
Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Para
sejarawan umumnya menentukan tahun 476, yakni masa berakhirnya Kerajaan Romawi
Barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya Kerajaan Romawi Timur yang kelak
berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul), sebagai data awal zaman Abad
Pertengahan dan tahun 1492 (penemuan benua Amerika oleh Columbus) sebagai data
akhirnya[1].
Masa ini diawali
dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang
dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada Abad
Pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran
filsafat Abad Pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan
selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya
bersifat teosentris[2].
Adapun istilah
Abad Pertengahan sendiri (yang baru muncul pada abad ke-17) sesungguhnya hanya
berfungsi membantu kita untuk memahami zaman ini sebagai zaman peralihan (masa
transisi) atau zaman tengah antara dua zaman penting sesudah dan sebelumnya,
yakni Zaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Zaman Modern yang diawali dengan masa
Renaissans pada abad ke-17.
Dengan demikian,
bentangan waktu seribu tahun sejarah filsafat Barat Kuno (Yunani dan Romawi)
yang sudah kita bahas dilanjutkan dengan masa seribu tahun sejarah filsafat
Abad Pertengahan yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Periode abad
pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan
ini terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada permulaan abad
masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman pertengahan
adalah zaman keemasan bagi kekristenan[3]. Disinalah yang menjadi persoalannya, karena
agama kristen itu mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran
sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan yunani kuno mengatakan bahwa kebanaran
dapat di capai oleh kemampuan akal[4].
B. Ciri
Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad
Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan
filsafat[5].
Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat
Kristiani. Para pemikir zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan
rohaniwan atau biarawan dalam Gereja Katolik (misalnya uskup, imam, pimpinan
biara, rahib), minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani.
Akan tetapi, orang
akan sungguh-sungguh salah paham jika memandang filsafat Abad Pertengahan
semata-mata sebagai filsafat yang selalu berisi dogma atau anjuran resmi
Gereja. Sebab, sebagaimana nanti akan kita lihat, tema yang selalu muncul dalam
sejarah filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan
wahyu Allah sebagaimana termaktub dalam kitab suci dan pengetahuan yang
berdasarkan kemampuan rasio manusia. Dan, dalam hal ini, tidak semua pemikir
abad pertengahan mempunyai jawaban yang sama.
Adanya beragai macam
aliran pemikiran yang mengkaji tema tersebut menunjukkan bahwa para pemikir
pada zaman itu ternyata bisa berargumentasi secara bebas dan mandiri sesuai
dengan keyakinannya. Kendati tidak jarang mereka, harus berurusan dan bentrok
dengan para pejabat gereja sebagai otoritas yang kokoh dan terkadang angkuh
pada masa itu. Oleh karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat abad
pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama kristiani sebagai
basisnya.
Periode abad
pertengahan mempunyai perbedaan yang menyolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan
itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang
diajarkan oleh nabi isa pada permualaan abad masehi membawa perubahan besar
terhadap kepercayaan keagamaan.
Agama Kristen menjadi
problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan
kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pendangan yunani kuno yang
mengatakan bahwa kebanaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum
mengenal adanya wahyu.
Mengenai sikap
terhadap pemikiran Yunani ada dua[6]:
1. Golongan yang menolak sama
sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang
kafir karena tidak mengakui wahyu.
2. Menerima filsafat yunani
yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan
manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal
tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu
oleh wahyu.
1.
Periode-periode pada abad pertengahan
Sejarah filsafat abad
pertengahan dibagi menjadi dua zaman atau periode, yakni periode pratistik dan
periode skolastik[7].
a.
Patristik (100-700)
Patristik berasal
dari kata Latin Patres yang berarti bapa-bapa greja, ialah ahli agama
kristen pada abad permulaan agama kristen[8]. Didunia
barat agama katolik mulai tersebar dengan ajaranya tentang tuhan, manusia dan
etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggunakan
filsafat yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya menganai soal-soal
tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tuhan. Yang terkenal
Tertulianus (160-222), origenes (185-254), Agustinus (354-430), yang
sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).
- Justinus Martir
Nama aslinya ialah justinus,
kemudian nama martir di ambil dari istilah orang-orang yang rela mati hanya
untuk kepercayaanya. Ia berpendapat bahwa filsafat yang digabung dengan ide-ide
keagamaan akan menguntungkan asensi dari pengetahuan ialah pemahaman tentang
Tuhan, semakin banyak kita memikirkan kesempurnaan Tuhan akan semakin bertambah
kemampuan inteleknya.
2.
Tertullianus (160 - 222 )
Di antara para pembela iman Kristen
adalah Tertullianus ia dilahirkan bukan dari keluarga Kristen, tetapi setelah
melaksanakan pertobatan ia menjadi gigih membela Kristen secara fanatik. Ia
menulak kehadiran filsafat Yunani, karna filsafat dianggap sesuatu yang tidak
perlu. Baginya berpendapat, bahwa whyu tuhan sudahlah cukup, dan tidak ada
hubungan antara teologi dengan filsafat, tidak ada hubungan antara Yerussalem
(pusat agama) dengan Yunani (pusat fisafat), tidak ada hubungan antara gereja
dengan akedemi, tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru.
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa
dibanding dengan cahaya Kristen, maka segala yang dikatakan oleh para filosof
Yunani dianggap tidak penting. Karna apa yang dikatakan oleh para filosof
Yunani tentang kebenaran pada hakikatnya sebagai kutipan dari kitab suci. Akan
tetapi karena kebodohan para filosof, kebenaran kitab suci tersebut dipalsukan.
Akan tetapi lama kelamaan, Tertullianus
akhirnya menerima juga filsafat yunani sebagai cara berpikir yang rasional.
Alasannya, bagaimanapun juga berpikir yang rasional diperlukan sekali. Pada
saat itu, karena pemikiran filsafat yang diharapkan tidak dibakukan. Saat itu
filsafat hanya mengajarkan pemikiran-pemikiran ahli pikir Yunani saja.
Sehingga, akhirnya Tertullianus melihat
filsafat hanya dimensi praktisnya saja, dan ia menerima filsafat sebagai cara
atau metode berpikir untuk memikirkan kebenaran keberadaan Tuhan beserta
sifat-sifatnya.
3.
Augustinus (354-430)
Sejak mudanya ia telah mempelajari
bermacam-macam aliran filsafat, antara lain platonisme dan skeptisisme. Ia
telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat abad pertengahan, sengga
ia dijuluki sebagai guru skolastik yang sejati. Ia seorang tokoh besar di
bidang teologi dan filsafat.
Setelah ia mempelajari aliran
Skeptisisme, ia kemudian tidak menyetujui atau menyukainya, karena di dalamnya
terdapat pertentangan batiniah. Orang dapat meragukan segalanya, akan tetapi
orang tidak dapat meragukan bahwa ia ragu-ragu. Seseorang yang ragu-ragu
sebenarnya ia berpikir dan seseorang yang berpikir sesungguhnya ia berada
(eksis).
Menurut Augustinus, daya pemikiran
manusia ada batasanya, tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan
kepastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal abadi. Artinya, akal
pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi.
Dan menurutnya lagi, Allah menciptakan
dunia ex nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinas).
Artinya dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan.
Jadi, berbeda dengan konsep pencitaan yang diajarkan Plato bahwa me on
merupakan dasar atau materi segala sesuatu. Dunia diciptakan sesuai dengan
ide-ide Allah. Manusia dan dunia berpatisipasi dengan ide-ide ilahi. Pada
manusia partisipasi itu lebih aktif dibanding dunia materi.
Akhirnya, ajaran Augustinus berhasil
menguasai sepuluh abad, dan mempengaruhi pemikiran Eropa. Perlu diperhatikan
bahwa para pemikir patristik itu sebagai pelopor pemikiran skolastik. Mengapa
ajaran Augustinus sebagai akal dari skolastik dapat mendominasi hamper sepuluh
abad, karena ajarannya lebih bersifat sebagai metode daripada suatu siste,
sehingga ajarannya mampu meresap sampai masa skolastik.
Filsafat patristik mengalami kemunduran
sejak abad V hungga abad VIII. Di Barat dan Timur muncul tokoh-tokoh dan
pemikir- pemikir baru dengan corak pemikiran yang mulai berbeda dengan masa
patristik.
b. Skolastik
800-1500
Zaman Skolastik
dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang
lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada
zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari lingkungan
sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung
(742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.
Dengan demikian, kata
“skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak
sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang
lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni
“metode skolastik”.
Dengan metode ini,
berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contra-nya
untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan kemasukakalan dan pengkajian
yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat
Skolastik.
Sesudah agustinus:
keruntuhan. Satu-satunya pemikir yang tampil kemuka ialah: Skotus Erigena
(810-877). Kemudian: Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada
universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu. Persoalan-persoalan:
tentang pengertian-pengertian umum (pengaruh plato). Filsafat mengabdi
pada theologi. Yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaelardus (1079-1142)[9]. Periode
ini terbagi menjadi tiga tahap[10]:
1. Periode Skolstik awal
(800-120)
Ditandai dengan
pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan
filsafat[11].
Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran
Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam
berbagai aliran pemikiran.
Pada periode ini,
diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi
tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya, logika
Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan
“metode skolastik” dengan pro-contra mulai berkembang (Petrus Abaelardus
pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini
adalah masalah universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan
“Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad
ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan bahasa,
pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.
Pengaruh alam
pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat
selanjutnya. Pada tahun 800-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan
karya-karya para filsuf dan ilmuwan zaman Yunani Kuno. Kaum intelektual dan
kalangan kerajaan Islam menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab. Maka, pada para pengikut Islam mendatangi Eropa (melalui
Spanyol dan pulau Sisilia) terjemahan karya-karya filsuf Yunani itu, terutama
karya-karya Aristoteles sampai ke dunia Barat. Dan salah seorang pemikir Islam
adalah Muhammad Ibn Rushd (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushd, seorang
filsuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara
aliran neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
Dengan demikian, pada
gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani Abad
Pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih
menyeluruh daripada sebelumnya. Hal ini semakin didukung dengan adanya
biara-biara yang antara lain memeng berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan
memelihara karya sastra.
2. Periode puncak perkembangan
skolastik (abad ke-13)
Periode puncak
perkembangan skolastik : dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli
filsafat Arab dan yahudi[12].
Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad
Pertengahan. Aristoteles diakui sebagai Sang Filsuf, gaya pemikiran Yunani
semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir semakin ditantang lewat
perselisihan dengan filsafat Arab dan Yahudi. Universitas-universitas pertama
didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi
universitas yang mengikutinya. Pada abad ke-13, dihasilkan suatu sintesis besar
dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat Yunani. Tokoh-tokohnya adalah
Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas
(1225-1274). Hasil sintesis besar ini dinamakan summa (keseluruhan).
a.
Thomas Aquinas (1225-1274 M.)
Puncak kejayaan masa skolastik
dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274 M.). Lahir
di Roccasecca, Italia 1225 M dari kedua orang tua bangsawan[13].
Ia mendapat gelar “The Angelic Doctor”, karena banyak pikirannya, terutama
dalam “SummaTheologia” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja.
Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui
indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi
yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus
diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal ataufilsafat harus
dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dalil agama dan mengabdi kepadaTuhan.
Aquinas merupakan theolog skolastik yang terbesar. Ia adalah murid Albertus
Magnus. Albertus mengajarkan kepadanya filsafat Aristoteles sehingga
ia sangat mahir dalam filsafat itu. Pandangan-pandangan filsafat Aristoteles
diselaraskannya dengan pandangan-pandangan Alkitab. Ialah yang sangat berhasil
menyelaraskan keduanya sehingga filsafat Aristoteles tidak menjadi unsur yang
berbahaya bagi iman Kristen. Pada tahun1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai
ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.
Thomas mengajarkan
Allah sebagai “ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah
adalah “dzat yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah
adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat
Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat,
yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah
(kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini
kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup
rahmat (adikodrati). “Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan
oleh rahmat,” demikian kata Thomas Aquinas[14]
Thomas
memberi 5 (lima) bukti adanya Tuhan[15]:
1.
Adanya gerak didunia mengharuskan kita
menerima bahwa ada penggerak pertama yaitu Allah. Menurut Thomas apa yang
bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Gerak menggerakkan ini tidak
dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak pertama
ini adalah Allah.
2.
Di dalam dunia yang diamati terdapat
suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya guna. Tidak
pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya
sendiri. Oleh karena itu, maka harus ada sebab berdaya guna yang pertama,
inilah Allah.
3.
Di dalam alam semesta terdapat hal-hal
yang mungkin ada dan tidak ada. Oleh karena semuanya itu tidak berada sendiri
tetapi diadakan, dan oleh karena semuanya itu dapat rusak, maka ada kemungkinan
semua itu ada, atau semuanya itu tidak ada. Jikalau segala sesuatu hanya
mewujudkan kemunginan saja, tentu harus ada sesuatu yang adanya mewujudkan
suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, adanya itu
disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mugkin ditarik hingga
tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak
disebabkan oleh sesuatu yang lain, inilah Allah.
4.
Diantara segala yang ada terdapat ha-hal
yag lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar dan lain sebagainya. Apa
yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi jikalau
ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan
adanya yang terbaik. Dari semuanya dapat disimpulkan bahwa harus ada sesuatu
yang menjadi sebab daris segala yang baik, segala yang benar, segala yang
mulia. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
5.
Kita menyaksikan, bahwa segala sesuatu
yang tidak berakal seperti umpamanya tubuh alamiah, berbuat menuju pada
akhirnya. Dari situ tampak jelas, bahwa tidak hanya kebetulan saja semuanya itu
mencapai akhirnya, tapi memang dibuat begitu. Maka apa yang tidak berakal tidak
mungkin bergerak menuju akhirnya, jikalau tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang
berakal, berpengetahuan. Inilah Allah.
Kelima bukti itu memang
dapat menunjukkan, bahwa ada suatu tokoh yang menyebabkan adanya segala
sesuatu, suatu Tokoh yang berada karena diriNya sendiri. Akan tetapi semuanya
itu tidak dapat membuktikan kepada kita akan hekekat Allah yang sebenarnya.
Dengan semuanya itu, kita hanya tahu bahwa Allah ada. Sekalipun demikian dapat
juga dikatakan,bahwa orang memang memiliki beberapa pengetahuan filsafati
tentang Allah
3. Periode Skolastik lanjut
atau akhir (abad ke-14-15)
Periode skolastik
Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang kearah
nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi
petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal.
Kepercayaan orang pada kemampuan rasio member jawaban atas masalah-masalah iman
mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat
disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman
yang dapat menerimanya.
Salah seorang yang
berfikir kritis pada periode ini adalah Wiliam dari Ockham (1285-1349). Anggota
ordo Fransiskan ini mempertajam dan menghangatkan kembali persoalan mengenai
nominalisme yang dulu pernah didiskusikan. Selanjutnya, pada akhir periode ini,
muncul seorang pemikir dari daerah yang sekarang masuk wilayah Jerman, Nicolaus
Cusanus (1401-1464). Ia menampilkan “pengetahuan mengenai ketidaktahuan” ala
Sokrates dalam pemikiran kritisnya:”Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat ku
ketahui bukanlah Tuhan”. Pemikir yang memiliki minat besar pada kebudayaan
Yunani-Romawi Kuno ini adalah orang yang mengatur kita memasuki zaman baru, yakni
zaman Modern, yakni zaman Modern yang diawali oleh zaman Renaissans, zaman
“kelahiran kembali” kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa mulai abad ke-16.
Baru sesudah tahun
1200 filsafat berkembang kembali berkat pengaruh filsafat arab yang diteruskan
ke Eropa.
c. Fisafat
arab
Berkat pengaruh
Helenisme (iskandar), filsafat yunani hidup terus di Siria, diperkembangkan
lebih lanjut oleh filusuf-filusuf Arab, kemudian diteruskan ke Eropa
melalui sepanyol[16].
a) Alkindi (800-870) satu-satunya orang arab asli.
Corak filsafatnya ialah pemikiran kembali dari ciptaan Yunani (menterjemahkan
260 buku Yunani) dalam bentuk bebas dengan refleksinya dengan iman islam
b) Alfarabi (872-950), filusuf muslim dalam pangkal
filsafatnya dari Plotinus.
c) Al-Ghazali (1059-1111) filusuf besar islam
yang mengarang Ihya Ulumuddin, di Spanyol
d) Ibnu sina (avicena)(980-1037) yang besar
pengaruhnya terhadap filsafat barat, sejak usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an.
e) Ibnu Bajjah (1138), penafsiran karya fisik dan
metafisik Aristoteles.
f) Ibnu Rushd (Averros) (1126-1198) yang
disebut jiga penafsir Arostoteles dan yang sangat berpengaruh terhadap
aliran-aliran di Eropa, jiga seorang filusuf besar Muslim.
g) Avencebrol (ibnu Gebol) (1020-1070)
h) Main monides (moses bin maimon) (1135-1204)
d. Zaman
Keemasan
Perkembangan baru
karena adanya universitas-universitas (paris), karangan karangan Aristoteles
mulai dikenal umum melalui filusuf-filusuf arab dan Yunani[17].
1.
Pengikut-pengikut Agustinus :
sigerbonafenturant
2.
Pengikut-pengikut ibn Rushd: Siger dari
Barabant (1235-1281).
3.
Pengikut-pengikut Aristoteles :
Albertus Magnus (1206-1280), dan muridnya; Thomas Aquinas (1225-1274), yang
berhasil menemukan sintesis antara Aristoteles-Plato-Agustinus dan skolastik.
Perbedaan agama dan
filsafat dan sintesisnya, pemecahan soal-soal besar tentang pengetahuan,
tentang “ada” dan dasarnya tentang etika. Pengaruhnya sampai sekarang masih
sangat kuat.
Disamping aliran-aliran ini terdapat juga ;
1) Aliran Neo-platonis: Roger Bacon (1210-1292).
2) Aliran empirisme (pengaruh Aristoteles), yang
membela kaidah ilmu pasti dalam ilmu pengetahuan dan penyelidikan berdasarkan
eksperimen-eksperimen.
3) Duns-Scotus (1270-1308) pembahasan yang
tajam, perimtis jalan bagi filsafat abad ke XIV, positivitas (hanya apa yang
kongkrit yang dapat dilihat dan yang dapat diraba dan dapat dimengerti) dan
voluntaristis (lebih mementingkan kehendak dari pada pikiran)
4) W. Ockham (1550) yang meneruskan ajaran
Scotus: tentang pengetahuan: konseptualitas (lihat logika:
pengertian-pengertian umum tidak “benar” sesuai dengan kenyataan).
C. Kesimpulan
Zaman pertengahan
ialah zaman dimana Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan
erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat secara menyeluruh, filsafat
Abad Pertengahan memang merupakan filsafat Kristiani. Para pemikir zaman ini
hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan dalam
Gereja Katolik (misalnya uskup, imam, pimpinan biara, rahib), minat dan
perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani.
Sejarah filsafat abad
pertengahan dibagi menjadi dua zaman atau periode, yakni periode pratistik dan
periode skolastik .
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sadali dan Mudzakir, (1999)
Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Mustansyir, Rizal. (2009). Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Pustaka Belajar Offset
Salam, Burhanuddin. (1995). Pengantar Filsafat. Jakarta:
Bumi Aksara
Surajiyo. (2005). Ilmu filsafat suatu Pengantar.
Jakarta: Bumi Aksara
Muzairi. (2009). Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras
Petrus, Simon. (2004). Petualangan Intelektual. Yogyakarta:
Kanisius
Tafsir, Ahmad. (2010). Filsafat Umum. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Suriasumantri,
jujun S. (2009). Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
[1]
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 102
[2]
Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. Kesembilan. hlm. 67
[3]
Ibid. hlm. 66
[5]
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 102
[7]
Simon Petrus L. Tjahjadi,
Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 103
[9]
Burhanuddin salam, Pengantar
Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) cet. Ketiga. hlm. 191
[10]
Surajio, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157
[11]
Ibid
[12] Ibid
[13] Ahmad Sadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 80-81
[14] Ibid. hlm. 95
[15] Ibid
[17] Ibid. hlm. 192